Industri Otomotif Jepang Lebih Memilih Cina Ketimbang Indonesia
KETAKUTAN akan Cina kini bukan lagi basa-basi. Negeri Tirai Bambu ini bukan hanya negara raksasa, tetapi negeri dengan pasar yang luar biasa besar. Paling tidak, pasar dengan satu milyar orang. Cina juga merupakan negara manufaktur yang tangguh dengan dukungan bahan baku yang melimpah. Cina juga merupakan negara yang memiliki sumber daya yang beragam dengan tingkat komando politik maupun pemerintahan yang jelas.
T>small 2small 0<>
Salah satu yang ngotot untuk melakukan investasi di Cina adalah produsen otomotif Jepang. Para raksasa otomotif yang selama ini memiliki hubungan historis baik dengan para pedagang mobil di Indonesia, yakni para agen tunggal pemegang merek (ATPM), justru tidak akan mengembangkan industrinya di Indonesia. Secara diplomatis mereka mengatakan, soal pengembangan otomotif di Indonesia diserahkan kepada pimpinan yang ada di perusahaan ATPM di Indonesia, meski pengusaha Jepang dalam posisi mayoritas.
Konsentrasi mereka justru di Cina. Di negeri satu milyar orang itu, mereka akan membangun pabrik baru. Kelas industri yang akan dikembangkan bukan cuma menjahit seperti di Indonesia, tetapi membangun sebuah industri. Bagi mereka, Indonesia meski populasinya besar, tetapi pasarnya kecil. Sementara di Cina adalah pasar yang baru tumbuh dan volumenya tetap besar. Dengan demikian, arah pengembangannya pun menjadi efisien sehingga layak untuk dibangun sebuah industri, bukan perakitan. Sikap itu ditunjukkan oleh para petinggi otomotif Jepang.
MANAJER Humas Daihatsu Motor Corp Shozo Shimizu mengatakan, saat ini dengan kepemilikan 61,75 persen saham Daihatsu Motor di PT Astra Daihatsu Motor (ADM), Daihatsu berusaha untuk mengembangkan usaha dan bisnisnya lebih baik lagi di Indonesia, terutama mobil mini seperti Zebra 1300 cc. Namun, selain di Indonesia, di Malaysia juga akan dikembangkan.
Bahkan, pabrik Daihatsu yang lebih besar ada di Malaysia dengan kapasitas produksi mencapai 130.000 unit per tahun, sedangkan di Indonesia hanya memiliki kapasitas produksi sekitar 21.000 unit per tahun. Diharapkan, pabrik di Indonesia yang relatif kecil ini bisa dikembangkan lebih besar lagi dalam waktu dekat.
Namun, tambahnya, fokus pengembangan Daihatsu untuk saat ini adalah ke Cina. Pasar di Cina, kata Shimizu, memiliki potensi yang sangat besar di Asia. Produk di Cina ini akan diprioritaskan untuk pasar negara itu sendiri yang diperkirakan memiliki daya serap yang besar. Demikian juga untuk produk yang di Malaysia dan Indonesia, fokusnya adalah untuk pasar lokal, di samping juga mempersiapkan untuk mengisi pasar ekspor dalam rangka kebijakan pasar bebas ASEAN.
“Dengan adanya pasar bebas ASEAN (AFTA), kami bisa melakukan usaha dan produksi serta bisnis di berbagai negara di ASEAN dan Cina sekaligus, tanpa perlu menjadikan satu negara sumber produksi bagi mobil lain yang diproduksi di lain negara. Masing-masing negara punya karakteristik tipe produksi sendiri-sendiri sesuai karakter dan kebutuhan negara yang bersangkutan. Lagi pula, dengan AFTA tentu akan menjadi lebih mudah melakukan jaringan kerja sama satu sama lain bagi beberapa pabrik kami yang ada di Indonesia, Malaysia, dan Cina,” kata Shimizu.
HAL senada juga disampaikan oleh General Manager Humas Toyota Motor Corporation Tetsuo Kitagawa. Menurut Kitagawa, pasar di Indonesia memang besar sekali. “Namun, untuk sementara kami tak akan melakukan tambahan investasi lagi, paling tidak sampai dengan tahun 2005. Akan tetapi, kalau PT Toyota Astra Motor (TAM) yang sebagian besar sahamnya juga dimiliki oleh TMC mau mengembangkan diri, silakan. Namun, untuk pengembangan itu mereka tidak akan mendapat dukungan dana investasi, artinya mereka harus mengembangkan investasinya dengan kekuatan sendiri.”
Khusus untuk di Indonesia, kata Kitagawa, TMC hanya akan memfokuskan diri kepada multi purpose vehicle. Untuk di Thailand, dengan mobil truk atau pick up, kendaraan niaga. Namun, untuk Cina justru mendapat perlakuan lain oleh TMC. Negeri Tirai Bambu ini oleh TMC dianggap sebagai primadona untuk pengembangan usaha. Pertimbangan TMC karena potensi bisnis yang besar di sana.
“Kami akan mengembangkan model compact passenger car. Termasuk pula akan dikembangkan pembuatan sedan mewah dan luxury special sport utility vehicle dan mobil mini. Demikian pula mini bus tampaknya akan berhasil dipasarkan di Cina. Produk otomotif yang dibuat di Cina akan dikonsentrasikan untuk Cina yang mencapai hampir satu milyar manusia,” kata Kitagawa.
Demikian pula di Thailand, Indonesia, dan lain-lainnya, untuk pasar dalam negeri setempat menjadi prioritas. Tentu dengan adanya AFTA, jaringan kerja usaha TMC diharapkan akan semakin baik, efisien, dan menguntungkan bagi pihak Toyota sendiri maupun negara yang menjadi kongsi bisnisnya. Namun, untuk industri pendukungnya tetap akan dikembangkan di Indonesia. Dengan demikian akan memperlancar kegiatan industri secara keseluruhan.
Intinya, ada tiga hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk dilakukan agar bisnis otomotif Toyota bisa berkembang. Pertama, harus dilakukan stabilitas politik, kemudian stabilitas kebijaksanaan ekonomi, dan terakhir adalah kebijakan industri. Pengalaman ini masih ada perbedaan satu wilayah dengan wilayah lain, padahal kebijakan sama. Akibatnya, investor bingung, pengusaha pun menjadi linglung.
SUZUKI Motor Corp pun melakukan kebijakan yang sama. Menurut Manager Humas Suzuki Corp Mitsuyasu Tazawa, saat ini Suzuki tengah mengonsentrasikan diri antara lain untuk pembuatan motor Scooter 50 cc yang dibuat dan dipasarkan di Jepang. Kalau melihat jumlah penjualan antara mobil dan motor, ternyata hasil penjualannya hampir sama. Bahkan, kami proyeksikan tahun ini hasil penjualan motor akan lebih besar daripada penjualan mobil. Penjualan motor tahun ini diperkirakan akan mencapai 2,1 juta unit, sedangkan penjualan mobil tahun ini diperkirakan akan mencapai 1,83 juta unit.
Produksi dan penjualan produk Suzuki di Indonesia dipegang PT Indomobil Suzuki Indonesia (ISI) dan sampai saat ini perusahaan mengalami pertumbuhan yang baik. Namun, pihak Suzuki Jepang tetap berkonsentrasi ke Cina. Bagi kantor pusat, Cina menjadi sasaran utama karena potensi pasar di sana sangat luas, khususnya untuk produksi dan penjualan sepeda motor, walaupun harus bersaing ketat dengan merek lain.
“Untuk Indonesia, kami serahkan sepenuhnya kepada ISI untuk pengembangannya dan saya yakin ISI bisa berkembang lebih baik lagi di masa mendatang. Produksi Suzuki Motor tahun lalu dan tahun ini, khususnya sepeda motor, mayoritas justru diperoleh dari penjualan di luar negeri, bukan dari dalam negeri Jepang. Untuk mobil, 52,25 persen produksi dilakukan di Jepang dan sisanya dilakukan di luar Jepang. Tahun lalu mengalami kenaikan 111 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan tahun ini diperkirakan mengalami kenaikan 102 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Sedangkan produksi motor Suzuki, 75,1 persen di luar Jepang dan sisanya di Jepang. Kenaikan pada tahun ini diperkirakan akan mencapai 127 persen, sementara tahun lalu mencapai 106 persen. Hasil penjualan lainnya dari pembuatan suku cadang, yang tahun lalu mencapai sekitar 91,8 milyar yen, tahun ini diperkirakan akan mencapai 91,9 milyar yen.
Gambaran pintas ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi tujuan utama industri otomotif Jepang, paling tidak sampai tahun 2005. Industri otomotif yang kini dikelola oleh para ATPM di Indonesia tak lebih hanya akan bergerak stagnan dan tidak akan ada tambahan investasi baru. Namun, yang paling mungkin adalah, para ATPM tersebut memang akan berkonsentrasi diri sebagai pemasar saja, apakah produk itu diambilkan dari Thailand, Malaysia, atau Cina.
0 comments:
Post a Comment